Simardan, Kisah sang anak durhaka


Simardan adalah salahsatu legenda dari tanah batak yang cukup terkenal. Dikisahkan seorang anak bernama Simardan yang berasal dari Tapanuli Selatan pergi merantau dan menjadi orang kaya namun sayang akhirnya lupa kepada orang tua dan asal usulnya.
Simardan adalah anak bungsu dari dua bersaudara. Ayahnya meninggal ketika ia masih kecil. Suatu hari simardan bermimpi mendatangi sebuah tempat. Keesokan harinya ia pergi mendatangi tempat tersebut dan benar saja, ia mendapatkan harta karun yang tak ternilai harganya disana. Dengan harta tersebut kemudian ia pergi ke Malaysia (konon katanya ke daerah penang) untuk mencari peruntungan.
Disana ia hidup sukses dan berhasil menikahi putri seorang raja. Akhirnya simardan hidup dalam kemewahan sampai sisa hidupnya.



Suatu hari ia berlayar ke daerah Tapanuli Selatan, tepatnya ke Tanjung Balai, kampung halamannya. Sebenarnya ia enggan mendatangi tempat tersebut tapi kerena desakan sang istri akhirnya ia menurut.
Sesampainya di tanjung balai, orang orang berbondong – bondong mendatanginya. Sebagian orang yang masih mengenalinya memberitakan kepada ibunya bahwa anaknya simardan yang lama merantau sekarang sudah kembali.
Sayang seribu sayang… si mardan ternyata tidak mau lagi mengakui ibunya. Ia tidak mau mengakui masa lalunya sebagai orang miskin karena termakan ucapan yang dulu pernah digunakannya untuk mengelabui raja Penang.
Setelah diperlakukan kasar oleh Simardan, wanita tua itu lalu berdoa sembari memegang payudaranya. “Kalau dia adalah anakku, tunjukkanlah kebesaran-Mu,” begitulah kira-kira yang diucapkan ibu Simardan. Usai berdoa, turun angin kencang disertai ombak yang mengarah ke kapal layar, sehingga kapal tersebut hancur berantakan. Sedangkan tubuh Simardan, menurut cerita, tenggelam dan berubah menjadi sebuah pulau bernama Simardan.
Para pelayan dan isterinya berubah menjadi kera putih, kata Daem dan Marpaung. Hal ini disebabkan para pelayan dan isterinya tidak ada kaitan dengan sikap durhaka Simardan kepada ibunya. Mereka diberikan tempat hidup di hutan Pulau Simardan. Sekitar empat puluh tahun lalu, masih ditemukan kera putih yang diduga jelmaan para pelayan dan isteri Simardan. Namun, akibat bertambahnya populasi manusia di Tanjungbalai khususnya di Pulau Simardan, kera putih itu tidak pernah terlihat lagi.
Di sebuah Dusun yang bernama Hau Napitu, Desa Buntu Maraja Kec.Bandar Pulau Kab.Asahan Propinsi Sumatera Utara, terdapat tugu yang menceritakan sekilas keberadaan Ibu dari Simardan, dan Tugu ini ,merupakan Tugu Peringatan dan Sekaligus tempat Ibu Simardan dikuburkan.Konon menurut orangtua di Desa ini bahwa Ibunda Simardan meninggal dunia dalam perjalanan menuju pulang ke Porsea setelah ia tidak di akui oleh Simardan sebagai Ibu Kandungnya.Dengan berjalan kaki puluhan kilometer dalam perjalan pulang inilah Ibunda Simardan tidak kuat lagi meneruskan perjalanan hingga ia meninggal di tengah perjalanannya.Atas inisiatif penduduk maka tempat di mana Ibunda Simardan meninggal, di bangunlah tugu di atas kuburannya kiranya peristiwa semacam itu menjadi peringatan bagi mereka yang suka memandang rendah orangtuanya dan selalu berbuat durhaka. Mari kita lihat tugu ini:

Tugu Simardan
Pada tugu ini tertera tulisan:
Sada tugu sejarah, ima inongni Simardan naturun sian porsea,manopoti ima Simardan di Tanjung Bale.Sahat ma i jabuni ni Simardan, i jou ma Simardan.Marbalosma Simardan dang inong songokko inokku.Anggo tung ima balosmu, mulak ma au tu Porsea.Sippulma hangoluanmu dison.

Kira-kira artinya:
Ini adalah sebuah tugu sejarah mengenai Ibundanya Simardan yang datang dari Porsea mendapatkan (akan mengunjungi) Simardan di Tanjung Balai.Tibalah ia di rumah Simardan dan dipanggillah Simardan.
Simardan membalas ” bukan Ibu macam kau ibuku”.(lantas Ibunda Simardan berkata) Kalau itulah balasanmu, pulanglah aku ke Porsea, terikat lah hidupmu sini.


Tidak ada komentar: